Rabu, 26 Desember 2012

Dilema Arah Kiblat


Ya sudah, langsung saja, ini mengenai arah kiblat. Beberapa waktu yang lalu dan barusan, saya salat berjamaah dan mengalami sesuatu. Saat itu ada kejadian yang mengganjal di benak saya, ada orang yang selalu memiringkan arah kiblatnya, yaitu menggeser sedikit ke kanan. kenapa aneh? Karena tidak semua masjid menghadap persis ke barat, dan tidak semua juga menghadap tepat ke kiblat. Kalau kita memang benar tahu bahwa masjid itu tepat menghadap ke barat, ya mungkin boleh-boleh saja memiringkan sedikit. Tapi selama ini, saya belum pernah melihat orang itu (yang saya lihat selalu memiringkan arah kiblatnya) belum pernah datang ke musala tadi memakai Google Maps untuk mengetahui arah kiblat atau paling tidak datang sambil membawa kompas buat acuan. Saya sendiri belum tahu berapa derajat arah kiblat dari Indonesia -bukan, dari musala tadi. Si pembuat musala juga pasti dulu sudah memperhitungkan arah musalanya, jadi buat apa kita menentukan arah sendiri? Tinggal ikuti arah masjid saja.

Nah, ini? Adik saya yang ada di sebelah saya berkomentar, "Yang penting niatnya, kan?" Ho-oh. Yang penting memang niatnya. Kalau begitu, lalu kenapa tidak meluruskan saf sesuai dengan saf yang ditentukan di masjid atau musala tersebut? Lebih rapi kan?

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Jumat, 21 Desember 2012

Skandium


Eh, bukan. Ini.



Langsung ke Skandium, untuk
  • info umum
  • sifat fisik
  • sifat  kimia
  • asal unsur
  • pembuatan
  • penggunaan
  • bahaya
silakan download di sini.

Sabtu, 08 Desember 2012

Jurusan


Di usia yang sudah mencapai 17 tahun ini, kelas XII, mulailah terasa bagaimana bingungnya menghadapi hidup di masa depan. Mulai dari kuliah, memilih jurusan, hingga pekerjaan. Pekerjaan pun tidak hanya besar di gaji, tapi juga harus besar di manfaat. Punya pendapatan yang berlimpah tapi tidak bisa memanfaatkan untuk kebaikan sama saja dengan miskin. Bahkan lebih buruk lagi. Orang miskin bebas dari penggunaan harta untuk hal yang tidak berguna –karena memang mereka tidak punya harta. Nah, kalau orang berharta, tapi hanya untuk ingin dihargai, tidak pernah sedekah; sedekah pun hanya untuk dianggap pantas-pantas saja, ya malah akan menambah dosa.
Orang miskin –eh, bukan, maksud saya orang berkecukupan itu sebenarnya lebih menyenangkan daripada orang yang hartanya melimpah. Orang yang ‘cukup’ tidak khawatir memikirkan harta-hartanya mau disimpan bagaimana, mau dibagaimanakan atau takut dicuri; mereka akan lebih tenang. Hisab di akhirat pun akan lebih lancar dan lebih singkat. Orang kaya cenderung lebih memenuhi kebutuhan mereka sendiri daripada untuk berbagi. Paling tidak, harta yang digunakan untuk bersenang-senang orang ‘cukup’ lebih sedikit daripada yang kaya. Orang kaya lebih besar kemungkinannya menggunakan hartanya ke hal mudarat. Bukankah begitu? #kah
Sekarang, kurang dari 5 bulan menuju lulusan SMA. Jujur, saya pun masih galau memilih jurusan kuliah. Bagaimana nanti bekerjanya, apakah sering meninggalkan keluarga, dan berbagai pertanyaan kekhawatiran lainnya. Walaupun sebenarnya jika kita bertawakal, kita tak akan kebingungan. Sayangnya, saya masih belum cukup beriman. Nah! Itu dia. Saya baru sadar, apa yang saya galaukan selama ini, akan terpecahkan jika saya beriman. Percaya bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan memberikan keputusan yang terbaik untuk saya.
Bagi kalian yang senasib, mari kita coba untuk merenung. Mencoba secara serius. Dengan ketenangan dalam berpikir, kita akan lebih realistis. Beriman adalah kuncinya. Mau dapat jurusan apapun, kuliah di manapun, kerja apapun, gaji berapapun, bukan masalah; yang penting tetap bersyukur. Yang penting, yang utama tidak terlupakan; semua ini untuk akhirat. Untuk menghindari neraka. Ibadah dan keluarga tidak boleh dikesampingkan. Buat apa kerja keras, banyak uang, tapi uang itu didapat dari korupsi. Apa puasnya punya uang dari korupsi?
Mudah-mudahan sampai mati kita tidak tergoda, mudah-mudahan kita tetap idealis, dan realistis. Buat apa kerja keras, banyak uang, tapi anak dan istri/suami kekurangan kasih sayang kita, kekurangan pendidikan moral yang akan sangat menentukan masa depan anak. Nah, kalau kekurangan pendidikan rohaninya (pendidikan karakter) nanti orang tua (kita) yang susah sendiri. Di masa depannya bisa saja dia berbuat jahat, sering membuat onar, masuk neraka. Itu berarti kita gagal mendidik keluarga, gagal menjauhkan keluarga dari api neraka. Tentu kita berdosa. Bisa saja kita masuk neraka. Cukuplah, jika diteruskan implikasinya tidak akan habis sebelum kiamat.
Tidak perlu kaya, yang penting kalau butuh apapun bisa dipenuhi. Tidak perlu mewah, yang penting fungsi utama terpenuhi. Anak dan istri/suami terurus; harmonis; keluarga bahagia; masuk surga.”

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Kamis, 20 September 2012

“Kamu sekarang berubah. Aku kangen kamu yang dulu.”

Pernah dengar keluhan itu? Atau pernah mengeluhkan hal itu? Please deh, setiap orang pasti mengalami perubahan. Setiap saat, setiap orang mengalami peristiwa, mendengar pembicaraan, melihat kejadian, dan sebagainya. Itu semua membuat orang terpengaruh sehingga menyebabkan perubahan sikap. Seperti yang kita ketahui, lingkungan sangat berpengaruh bagi pembentukan kepribadian. Entah itu berubah menjadi  baik, atau berubah menjadi buruk.
Kita tidak bisa menghentikan apa yang namanya perubahan, semua hal mesti berubah. Benda yang diamankan dengan lapisan baja dan ditutup rapat sekalipun, pasti mengalami perubahan, walau sekadar perubahan usia. Tapi manusia, seiring berubahnya usia, pengalaman manusia pun makin bertambah yang membuat respons bagi manusia tersebut. Jika kita mengalami kekecewaan terhadap seseorang, kadang kita menjadi tidak ‘sumringah’ jika berbicara dengan orang tersebut. Atau korban bencana alam yang kadang membuatnya menjadi trauma. Intinya setiap pengalaman, membuat orang yang mengalaminya terpengaruh, bisa baik, bisa juga buruk.
Jangan herankan orang mengalami perubahan. Asalkan itu berubah menjadi baik. Tetapi, tunggu dulu, menentukan itu baik atau buruk tidak bisa dilakukan sendiri. Kadang butuh referensi untuk mengetahuinya, bisa menanyai orang lain mengenai perubahan sikap(nya) atau membaca buku-buku mengenai pribadi manusia. Jika sikapnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan namun itu benar, maka kita harus lebih dewasa menghadapinya. Kita harus mengurangi ego. Jika sikapnya sesuai dengan apa yang kita harapkan juga benar (secara objektif) sesuai dengan aturan, maka bersyukurlah pada Tuhanmu. Jika sikapnya sesuai dengan apa yang kita harapkan namun itu salah, maka kita tidak boleh mengharapkan dia bersikap itu, karena itu salah.

Sabtu, 15 September 2012

Galeri

Saudara-saudaraku yang berbahagia. Di sela-sela kebahagiaan setelah 17 Agustus 1945 sekarang ini, mungkin masih ada segelintir orang yang tidak menyadari bahwa kita, bangsa Indonesia, sedang dijajah lagi. Dulu, 350 tahun kita dijajah oleh Belanda. Ya, itu yang kebanyakan orang tahu. Tetapi 350 tahun itu sebenarnya bukan Belanda yang menjajah. Penjajah sebenarnya adalah perusahaan dagang bernama VOC. Memang dari Belanda, tapi tidak semua orang Belanda adalah VOC.
Pedagang, bukan para tentara atau kepala negara Belanda. Perdagangan memang pengaruhnya sangat besar. Orang-orang ingin memenuhi kebutuhannya dengan cara membeli, tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah membeli—atau apa pun bentuk transaksinya—, hingga membuat pedagang sangat mudah memonopoli keadaan suatu daerah, negara bahkan dunia.
Sekarang, bukan zamannya Belanda lagi. Bukan Portugis, bukan pula Jepang. Tetapi lebih banyak lagi yang ingin menjajah Indonesia.
Saudaraku setanah air. Kalian pasti sering melihat gambar ini.

Ya, Unilever. Produk ini berasal dari luar negeri. Bisa kita lihat bagaimana suksesnya perusahaan ini di Indonesia yang tanpa kita sadari, membunuh perusahaan-perusahaan kecil di Indonesia. Membuat kita, bangsa Indonesia, menjadi lebih ‘cinta’ produk luar negeri. Tidak hanya, Unilever, masih banyak produk yang berasal dari luar negeri, Anda pasti tahu. Mau disangkal apa lagi, dari semua barang yang kita miliki, sebagian besar berasal dari negara asing. Makanan, alat elektronik, sabun, jarum, pensil, kuas, penghapus, piring, sendok, tusuk gigi, dan berbagai barang sederhana lainnya. Jika hal ini terus dibiarkan, bisa saja beberapa tahun ke depan, produk Indonesia sudah tidak ada lagi, keberadaan Indonesia sudah tidak diketahui. Ini memungkinkan kebahagiaan negara Indonesia direbut oleh bangsa lain secara perlahan. Penjajahan melalui perdagangan terjadi kembali.
Tidak hanya dagang, acara-acara televisi di negara kita ini kian lama kian tidak mendidik. Sinetron yang diisi dengan adegan-adegan pemeo, yang setiap ceritanya pasti ada kesamaan kejadian. Seakan-akan tulisan ini, “Cerita ini merupakan fiktif belaka. Apabila terjadi kesamaan tokoh, tempat, kejadian itu merupakan ketidaksengajaan”, cukup untuk mengizinkan acara itu disiarkan. Kalau Anda bilang “Berita-beritanya masih bagus kok.” Ya, acara beritanya memang bagus, tapi mereka hanya menyiarkan kejadian yang isinya tentang keburukan orang-orang di negeri ini; pembunuhan, korupsi, ketidakdisiplinan, cerai. “Acara hiburan juga bagus-bagus.” Hibur? Apanya yang harus dihibur? Di negara lain, acara hiburan diadakan jauh lebih sedikit dibanding Indonesia, itu pun ditayangkan karena mereka telah jenuh setelah seharian bekerja dari pagi sampai hampir pagi lagi. Lha kita? Kita pengangguran banyak, pelajar-pelajar malas banyak, hiburan tentu sudah menjadi kebutuhan yang (seperti udara, sinar matahari). Bahkan pekerjaan mereka sehari-hari malah mencari hiburan. Buat apa ada acara hiburan yang begitu banyak di Indonesia?

berbeda dengan

Acara musik di Indonesia juga aneh. Penontonnya dibayar agar acaranya lebih menarik. Di sana banyak remaja-remaja, sementara acara itu disiarkan tiap hari. Apa remaja-remaja itu merelakan sekolah demi memperoleh uang? Sepertinya kita terlalu bahagia dengan money-politic. Layaknya pemilu, money-politic berhasil membeli suara rakyat. Padahal ke depannya, wakil-wakil rakyat itu bisa saja korupsi 2x lipat, 10x lipat, 100x lipat dan lebih banyak lagi dari apa yang telah mereka berikan sebelum mereka terpilih.
Selanjutnya, gosip. Acara gosip atau infotainmen bisa kita lihat hampir setiap saat. Pagi ada, siang ada, sore ada, bahkan malam juga ada. Kita terlalu banyak membicarakan orang lain, Bung. Coba kita bicarakan diri kita sendiri, apa di tengah keadaan kita yang seperti ini, masih pantas jika kita membahas orang lain? Kalau orang yang kita bahas adalah Rasul, Nabi, pahlawan bangsa, presiden, dan semacamnya memang baik, bisa kita teladani kepribadian kepemimpinannya, patriotismenya, dan lain-lain, tapi coba kita lihat—ah, tak usah lihat, kita sudah hafal di luar kepala— yang dibahas di televisi itu artis. Artis sedang berbelanja, sedang berdandan, sedang berjalan-jalan, sedang makan, hanya buang-buang uang. Mendidik? Apa gunanya? Semua orang bisa melakukan itu. Banyak juga orang biasa yang berbelanja, berjalan-jalan, makan, bahkan berprestasi, memenangkan olimpiade, tapi jarang diliput. Semua perusahaan hanya mementingkan kekayaan pemiliknya. Semua ingin membuat konsumen tertarik untuk mengonsumsi produknya, sampai tidak memedulikan bahwa hal itu menyebabkan kehancuran bangsa.
Masih banyak kekurangan bangsa ini, kita sebagai orang-orang yang cerdas tentu bisa memilih cara hidup yang baik. Memilih untuk memajukan Indonesia, atau malah membuat orang-orang masa depan tidak pernah tahu saat ini ada negara bernama Indonesia. Paling tidak, jangan pakai produk yang U itu.

Kamis, 16 Agustus 2012

BUBER: Penting?

 
Kali ini santai. Saya akan mencurahkan perasaan saya mengenai buber (buka bersama). Ya, sekarang sudah tanggal (#ngelirik kalender) 28 Ramadhan 1433 H. Membahas buka bersama sedikit telat sepertinya. Tapi, baru saja saya ditawari untuk mengikuti buka bersama untuk kesekian kalinya. Pertama ada buber ekskul pramuka angkatan saya, buber kelas XII+XI (anak sama), buber kelas X, dan yang baru saja ini, buber Pramuka Ambalan Ganesha semua angkatan, banyak banget. Nanti ada buber tetangga, buber orang yatim, piatu, yatim-piatu. Itu masih mending. Malah bisa jadi ada buber orang yang nunggu angkot bareng, buber orang yang merek handphone-nya sama, dan lain-lain. Aneh lah. Pokoknya semua perkumpulan bisa dijadikan sarana buber.
Kembali ke tawaran buber.
Nah, dari semua buber yang saya terima. Saya hanya menghadiri buber ekskul pramuka angkatan saya. Kenapa? Karena saya termakan embel-embel ‘rapat’. Buber-buber yang lain saya tinggalkan, kenapa (lagi)? Karena (lagi) tidak ada kedok ‘rapat’. Bukan. Tapi saya pikir, buber itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kenapa (lagi-lagi)? Karena (lagi-lagi) buber menurut saya, lebih membuat kita boros. Makanan berharga Rp10.000,00 akan menjadi sederhana jika di rumah/warung makan, tapi Rp10.000,00 itu istimewa kalau di rumah.
Kalau buber sekadar untuk silaturahim, ya lebih baik silaturahim saja. Waktunya tidak perlu di waktu maghrib. Kalau mau, silaturahim yang baik untuk kita (pelajar; kalau orang tua saya kurang paham) ada, yaitu belajar kelompok. Kita tidak pernah tidak butuh belajar. Makanya belajar kelompok tidak bisa disalahkan. Kalau buber di waktu maghrib, cenderung mengarah ke ‘senang-senang’ bukan ibadah atau belajar. Iya? Buber di alun-alun misalnya, kita bersenang-senang dengan melihat-lihat ‘pemandangan’ (apapun), bermain, dan bermainnya pun tetap, boros; petasan, apa faedahnya, kita tahu itu boros. Kalau begitu, lebih baik buka puasa di rumah. Ada makanan buatan ibu, yang tidak kalah enak dibanding makanan rumah makan atau warung makan.
Jadi esensinya (inti pendapat saya), buber boleh-boleh saja, asalkan tidak terlalu sering, boros. Selain itu, tidak meninggalkan yang lebih penting. Jangan sampai, karena buber, malah tidak shalat tarawih. Shalat tarawih sih, tapi sendiri, di rumah. Itu rugi, karena kita kehilangan pahala shalat berjamaah. Jangan sampai, karena buber kita dimarahi orang tua. Mengingat ridha Allah, ridha orang tua; murka Allah, murka orang tua. Jika orang tua marah, Allah pun marah. Apalagi untuk yang rumahnya jauh dari tempat bubernya, pulang malam, membuat orang tua cemas. Nah, dosa lagi. Rawan kejahatan kriminal dan kejahatan emosional (takut sendirian di jalan maksudnya).
Pikir-pikir sebelum dilakukan, kalau saya begini, benar atau salah, untung atau rugi. Maka dari itu, ayo kita sama-sama membenahi diri (kebiasaan).
Oya satu lagi, kalau mau buber, hindari hal ini. Benar-benar hindari yang bentuknya buka bersama di rumah teman. Walaupun dibuat semandiri mungkin; membawa makanan sendiri, beli minum sendiri, doa sendiri (eh), tetap saja, pasti membuat pihak rumah REPOT. Pasti ikut bingung, “Masa sih kita ga nyediain apa-apa?” jadi mereka beli lah makanan/minuman untuk para pembuka-puasa-bersama itu.

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Rabu, 15 Agustus 2012

Tidak Tahu: Dua Paragraf Singkat


Rabu, 15 Agustus 2012, selisih jauh dari (tanggal post terakhir, lupa). Biasa. Tak perlu dibahas.

Hari ini, kurang lebih 4 tahun kurang 30 hari semenjak bapak pergi dari kami; ibu tercinta, aku, dan adikku yang kusayangi –walaupun sedikit alay—. Bukan pergi selama tiga kali puasa atau lebaran, melainkan pergi dari dunia. Dan mungkin saja hari ini aku akan menyusulnya. Bahkan detik ini ketika aku duduk mengetik di depan laptop. Ketika lagu-lagu Ebiet mengalun pelan di sini. Terlalu dibuat mellow, sepertinya. Bisa saja. Teringat dulu. Melihatnya ketika beliau pergi –tak tega aku jika menggunakan kata meninggal—banyak sekali orang yang datang. Apakah banyak juga yang akan datang ta’ziah jika aku yang meninggal? Tidak tahu. Apakah aku juga akan dikenang? Tidak tahu. Apakah ada orang yang senang dengan kematianku? Apakah aku ditangisi? Apakah aku ditangisi karena kebaikanku? Atau malah hutangku? Apakah akan ada lelaki yang menangis sambil memeluk anakku seperti aku yang dipeluk lelaki saat bapak pergi? Tidak tahu. Tidak tahu. Tidak tahu. Semua tergantung apa yang kuperbuat saat ini, besok, dan seterusnya. Apakah aku menulis ini karena termotivasi kamu. Iya. #eh Apakah apa yang kita lakukan saat ini patut untuk dikenang orang lain, hanya kita yang bisa membuat itu patut atau tidak patut untuk dikenang orang lain.
Pada dasarnya, banyak orang yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi kebanyakan terbawa emosi (dan lingkungan). Mungkin mereka sedang mendapat rezeki yang banyak dari Allah, sehingga mereka lupa mati. Mungkin kita juga kurang merenungi hidup. Kita di dunia ini untuk apa sih? Apa tujuan kita hidup? Kaya? Bersenang-senang? Masuk surga? Lalu apakah yang kita lakukan sudah sesuai tujuan? Atau malah melenceng jauh dari tujuan sehingga lebih mengarah ke larangan? Atau bahkan tidak tahu tujuan hidup kita? Mati saja. Sebaiknya kita lebih rajin merenung, bukan menyesali nasib tapi memikirkan betapa kita tergila-gila kehidupan dunia cuma karena nikmat sekejap. Mari belajar hidup. Hinaan, fitnah, biar. Sudahlah, biarkan reda di rongga dada. Diri sendiri juga belum tentu suci. Balaslah secara gagah, senyum, bukan balas menghina, memfitnah. Daripada mengomentari orang (nggosip), lebih baik mengomentari diri sendiri; apa yang kita tahu baik, paksa untuk dilakukan; yang buruk, paksa untuk tidak dilakukan. Cukup.

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder