Kali ini santai. Saya akan mencurahkan perasaan
saya mengenai buber (buka bersama). Ya, sekarang sudah tanggal
(#ngelirik kalender) 28 Ramadhan 1433 H. Membahas buka bersama
sedikit telat sepertinya. Tapi, baru saja saya ditawari untuk
mengikuti buka bersama untuk kesekian kalinya. Pertama ada buber
ekskul pramuka angkatan saya, buber kelas XII+XI (anak sama), buber kelas X, dan yang baru saja ini, buber Pramuka Ambalan Ganesha semua
angkatan, banyak banget. Nanti ada buber tetangga, buber orang yatim,
piatu, yatim-piatu. Itu masih mending. Malah bisa jadi ada buber
orang yang nunggu angkot bareng, buber orang yang merek handphone-nya
sama, dan lain-lain. Aneh lah. Pokoknya semua perkumpulan bisa
dijadikan sarana buber.
Kembali
ke tawaran buber.
Nah,
dari semua buber yang saya terima. Saya hanya menghadiri buber ekskul
pramuka angkatan saya. Kenapa? Karena saya termakan embel-embel
‘rapat’. Buber-buber yang lain saya tinggalkan, kenapa (lagi)?
Karena (lagi) tidak ada kedok ‘rapat’. Bukan. Tapi saya pikir,
buber itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kenapa
(lagi-lagi)? Karena (lagi-lagi) buber menurut saya, lebih membuat
kita boros. Makanan berharga Rp10.000,00 akan menjadi sederhana jika
di rumah/warung makan, tapi Rp10.000,00 itu istimewa kalau di rumah.
Kalau
buber sekadar untuk silaturahim, ya lebih baik silaturahim saja.
Waktunya tidak perlu di waktu maghrib. Kalau mau, silaturahim yang
baik untuk kita (pelajar; kalau orang tua saya kurang paham) ada,
yaitu belajar kelompok. Kita tidak pernah tidak butuh belajar.
Makanya belajar kelompok tidak bisa disalahkan. Kalau buber di waktu
maghrib, cenderung mengarah ke ‘senang-senang’ bukan ibadah atau
belajar. Iya? Buber di alun-alun misalnya, kita bersenang-senang
dengan melihat-lihat ‘pemandangan’ (apapun), bermain, dan
bermainnya pun tetap, boros; petasan, apa faedahnya, kita tahu itu
boros. Kalau begitu, lebih baik buka puasa di rumah. Ada makanan
buatan ibu, yang tidak kalah enak dibanding makanan rumah makan atau
warung makan.
Jadi
esensinya (inti pendapat saya), buber boleh-boleh saja, asalkan tidak
terlalu sering, boros. Selain itu, tidak meninggalkan yang lebih
penting. Jangan sampai, karena buber, malah tidak shalat tarawih.
Shalat tarawih sih, tapi sendiri, di rumah. Itu rugi, karena kita
kehilangan pahala shalat berjamaah. Jangan sampai, karena buber kita
dimarahi orang tua. Mengingat
ridha Allah, ridha orang tua; murka Allah, murka orang tua. Jika
orang tua marah, Allah pun marah.
Apalagi untuk yang rumahnya jauh dari tempat bubernya, pulang malam,
membuat orang tua cemas. Nah, dosa lagi. Rawan kejahatan kriminal dan
kejahatan emosional (takut sendirian di jalan maksudnya).
Pikir-pikir
sebelum dilakukan, kalau saya begini, benar atau salah, untung atau
rugi. Maka dari itu, ayo kita sama-sama membenahi diri (kebiasaan).
Oya
satu lagi, kalau mau buber, hindari hal ini. Benar-benar hindari yang
bentuknya buka bersama di rumah teman. Walaupun dibuat semandiri
mungkin; membawa makanan sendiri, beli minum sendiri, doa sendiri
(eh), tetap saja, pasti membuat pihak rumah REPOT. Pasti ikut
bingung, “Masa sih kita ga nyediain apa-apa?” jadi mereka beli
lah makanan/minuman untuk para pembuka-puasa-bersama itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar