Sabtu, 15 September 2012

Galeri

Saudara-saudaraku yang berbahagia. Di sela-sela kebahagiaan setelah 17 Agustus 1945 sekarang ini, mungkin masih ada segelintir orang yang tidak menyadari bahwa kita, bangsa Indonesia, sedang dijajah lagi. Dulu, 350 tahun kita dijajah oleh Belanda. Ya, itu yang kebanyakan orang tahu. Tetapi 350 tahun itu sebenarnya bukan Belanda yang menjajah. Penjajah sebenarnya adalah perusahaan dagang bernama VOC. Memang dari Belanda, tapi tidak semua orang Belanda adalah VOC.
Pedagang, bukan para tentara atau kepala negara Belanda. Perdagangan memang pengaruhnya sangat besar. Orang-orang ingin memenuhi kebutuhannya dengan cara membeli, tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah membeli—atau apa pun bentuk transaksinya—, hingga membuat pedagang sangat mudah memonopoli keadaan suatu daerah, negara bahkan dunia.
Sekarang, bukan zamannya Belanda lagi. Bukan Portugis, bukan pula Jepang. Tetapi lebih banyak lagi yang ingin menjajah Indonesia.
Saudaraku setanah air. Kalian pasti sering melihat gambar ini.

Ya, Unilever. Produk ini berasal dari luar negeri. Bisa kita lihat bagaimana suksesnya perusahaan ini di Indonesia yang tanpa kita sadari, membunuh perusahaan-perusahaan kecil di Indonesia. Membuat kita, bangsa Indonesia, menjadi lebih ‘cinta’ produk luar negeri. Tidak hanya, Unilever, masih banyak produk yang berasal dari luar negeri, Anda pasti tahu. Mau disangkal apa lagi, dari semua barang yang kita miliki, sebagian besar berasal dari negara asing. Makanan, alat elektronik, sabun, jarum, pensil, kuas, penghapus, piring, sendok, tusuk gigi, dan berbagai barang sederhana lainnya. Jika hal ini terus dibiarkan, bisa saja beberapa tahun ke depan, produk Indonesia sudah tidak ada lagi, keberadaan Indonesia sudah tidak diketahui. Ini memungkinkan kebahagiaan negara Indonesia direbut oleh bangsa lain secara perlahan. Penjajahan melalui perdagangan terjadi kembali.
Tidak hanya dagang, acara-acara televisi di negara kita ini kian lama kian tidak mendidik. Sinetron yang diisi dengan adegan-adegan pemeo, yang setiap ceritanya pasti ada kesamaan kejadian. Seakan-akan tulisan ini, “Cerita ini merupakan fiktif belaka. Apabila terjadi kesamaan tokoh, tempat, kejadian itu merupakan ketidaksengajaan”, cukup untuk mengizinkan acara itu disiarkan. Kalau Anda bilang “Berita-beritanya masih bagus kok.” Ya, acara beritanya memang bagus, tapi mereka hanya menyiarkan kejadian yang isinya tentang keburukan orang-orang di negeri ini; pembunuhan, korupsi, ketidakdisiplinan, cerai. “Acara hiburan juga bagus-bagus.” Hibur? Apanya yang harus dihibur? Di negara lain, acara hiburan diadakan jauh lebih sedikit dibanding Indonesia, itu pun ditayangkan karena mereka telah jenuh setelah seharian bekerja dari pagi sampai hampir pagi lagi. Lha kita? Kita pengangguran banyak, pelajar-pelajar malas banyak, hiburan tentu sudah menjadi kebutuhan yang (seperti udara, sinar matahari). Bahkan pekerjaan mereka sehari-hari malah mencari hiburan. Buat apa ada acara hiburan yang begitu banyak di Indonesia?

berbeda dengan

Acara musik di Indonesia juga aneh. Penontonnya dibayar agar acaranya lebih menarik. Di sana banyak remaja-remaja, sementara acara itu disiarkan tiap hari. Apa remaja-remaja itu merelakan sekolah demi memperoleh uang? Sepertinya kita terlalu bahagia dengan money-politic. Layaknya pemilu, money-politic berhasil membeli suara rakyat. Padahal ke depannya, wakil-wakil rakyat itu bisa saja korupsi 2x lipat, 10x lipat, 100x lipat dan lebih banyak lagi dari apa yang telah mereka berikan sebelum mereka terpilih.
Selanjutnya, gosip. Acara gosip atau infotainmen bisa kita lihat hampir setiap saat. Pagi ada, siang ada, sore ada, bahkan malam juga ada. Kita terlalu banyak membicarakan orang lain, Bung. Coba kita bicarakan diri kita sendiri, apa di tengah keadaan kita yang seperti ini, masih pantas jika kita membahas orang lain? Kalau orang yang kita bahas adalah Rasul, Nabi, pahlawan bangsa, presiden, dan semacamnya memang baik, bisa kita teladani kepribadian kepemimpinannya, patriotismenya, dan lain-lain, tapi coba kita lihat—ah, tak usah lihat, kita sudah hafal di luar kepala— yang dibahas di televisi itu artis. Artis sedang berbelanja, sedang berdandan, sedang berjalan-jalan, sedang makan, hanya buang-buang uang. Mendidik? Apa gunanya? Semua orang bisa melakukan itu. Banyak juga orang biasa yang berbelanja, berjalan-jalan, makan, bahkan berprestasi, memenangkan olimpiade, tapi jarang diliput. Semua perusahaan hanya mementingkan kekayaan pemiliknya. Semua ingin membuat konsumen tertarik untuk mengonsumsi produknya, sampai tidak memedulikan bahwa hal itu menyebabkan kehancuran bangsa.
Masih banyak kekurangan bangsa ini, kita sebagai orang-orang yang cerdas tentu bisa memilih cara hidup yang baik. Memilih untuk memajukan Indonesia, atau malah membuat orang-orang masa depan tidak pernah tahu saat ini ada negara bernama Indonesia. Paling tidak, jangan pakai produk yang U itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar