Saudara-saudaraku
yang berbahagia. Di sela-sela kebahagiaan setelah 17 Agustus 1945 sekarang ini,
mungkin masih ada segelintir orang yang tidak menyadari bahwa kita, bangsa
Indonesia, sedang dijajah lagi. Dulu, 350 tahun kita dijajah oleh Belanda. Ya,
itu yang kebanyakan orang tahu. Tetapi 350 tahun itu sebenarnya bukan Belanda
yang menjajah. Penjajah sebenarnya adalah perusahaan dagang bernama VOC. Memang
dari Belanda, tapi tidak semua orang Belanda adalah VOC.
Pedagang,
bukan para tentara atau kepala negara Belanda. Perdagangan memang pengaruhnya
sangat besar. Orang-orang ingin memenuhi kebutuhannya dengan cara membeli,
tidak ada orang di dunia ini yang tidak pernah membeli—atau apa pun bentuk
transaksinya—, hingga membuat pedagang sangat mudah memonopoli keadaan suatu
daerah, negara bahkan dunia.
Sekarang,
bukan zamannya Belanda lagi. Bukan Portugis, bukan pula Jepang. Tetapi lebih
banyak lagi yang ingin menjajah Indonesia.
Saudaraku
setanah air. Kalian pasti sering melihat gambar ini.
Ya,
Unilever. Produk ini berasal dari luar negeri. Bisa kita lihat bagaimana
suksesnya perusahaan ini di Indonesia yang tanpa kita sadari, membunuh
perusahaan-perusahaan kecil di Indonesia. Membuat kita, bangsa Indonesia, menjadi
lebih ‘cinta’ produk luar negeri. Tidak hanya, Unilever, masih banyak produk
yang berasal dari luar negeri, Anda pasti tahu. Mau disangkal apa lagi, dari
semua barang yang kita miliki, sebagian besar berasal dari negara asing. Makanan,
alat elektronik, sabun, jarum, pensil, kuas, penghapus, piring, sendok, tusuk gigi, dan
berbagai barang sederhana lainnya. Jika hal ini terus dibiarkan, bisa saja
beberapa tahun ke depan, produk Indonesia sudah tidak ada lagi, keberadaan
Indonesia sudah tidak diketahui. Ini memungkinkan kebahagiaan negara Indonesia
direbut oleh bangsa lain secara perlahan. Penjajahan melalui perdagangan
terjadi kembali.
Tidak
hanya dagang, acara-acara televisi di negara kita ini kian lama kian tidak
mendidik. Sinetron yang diisi dengan adegan-adegan pemeo, yang setiap ceritanya
pasti ada kesamaan kejadian. Seakan-akan tulisan ini, “Cerita ini merupakan
fiktif belaka. Apabila terjadi kesamaan tokoh, tempat, kejadian itu merupakan
ketidaksengajaan”, cukup untuk mengizinkan acara itu disiarkan. Kalau Anda
bilang “Berita-beritanya masih bagus kok.” Ya, acara beritanya memang bagus,
tapi mereka hanya menyiarkan kejadian yang isinya tentang keburukan orang-orang
di negeri ini; pembunuhan, korupsi, ketidakdisiplinan, cerai. “Acara hiburan
juga bagus-bagus.” Hibur? Apanya yang harus dihibur? Di negara lain, acara
hiburan diadakan jauh lebih sedikit dibanding Indonesia, itu pun ditayangkan
karena mereka telah jenuh setelah seharian bekerja dari pagi sampai hampir pagi
lagi. Lha kita? Kita pengangguran banyak, pelajar-pelajar malas banyak, hiburan
tentu sudah menjadi kebutuhan yang (seperti udara, sinar matahari). Bahkan
pekerjaan mereka sehari-hari malah mencari hiburan. Buat apa ada acara hiburan
yang begitu banyak di Indonesia?
berbeda dengan
Acara
musik di Indonesia juga aneh. Penontonnya dibayar agar acaranya lebih menarik. Di
sana banyak remaja-remaja, sementara acara itu disiarkan tiap hari. Apa
remaja-remaja itu merelakan sekolah demi memperoleh uang? Sepertinya kita
terlalu bahagia dengan money-politic.
Layaknya pemilu, money-politic
berhasil membeli suara rakyat. Padahal ke depannya, wakil-wakil rakyat itu bisa
saja korupsi 2x lipat, 10x lipat, 100x lipat dan lebih banyak lagi dari apa
yang telah mereka berikan sebelum mereka terpilih.
Selanjutnya,
gosip. Acara gosip atau infotainmen bisa kita lihat hampir setiap saat. Pagi
ada, siang ada, sore ada, bahkan malam juga ada. Kita terlalu banyak
membicarakan orang lain, Bung. Coba kita bicarakan diri kita sendiri, apa di
tengah keadaan kita yang seperti ini, masih pantas jika kita membahas orang
lain? Kalau orang yang kita bahas adalah Rasul, Nabi, pahlawan bangsa, presiden,
dan semacamnya memang baik, bisa kita teladani kepribadian kepemimpinannya,
patriotismenya, dan lain-lain, tapi coba kita lihat—ah, tak usah lihat, kita
sudah hafal di luar kepala— yang dibahas di televisi itu artis. Artis sedang
berbelanja, sedang berdandan, sedang berjalan-jalan, sedang makan, hanya
buang-buang uang. Mendidik? Apa gunanya? Semua orang bisa melakukan itu. Banyak
juga orang biasa yang berbelanja, berjalan-jalan, makan, bahkan berprestasi,
memenangkan olimpiade, tapi jarang diliput. Semua perusahaan hanya mementingkan
kekayaan pemiliknya. Semua ingin membuat konsumen tertarik untuk mengonsumsi
produknya, sampai tidak memedulikan bahwa hal itu menyebabkan kehancuran
bangsa.
Masih
banyak kekurangan bangsa ini, kita sebagai orang-orang yang cerdas tentu bisa
memilih cara hidup yang baik. Memilih untuk memajukan Indonesia, atau malah
membuat orang-orang masa depan tidak pernah tahu saat ini ada negara bernama
Indonesia. Paling tidak, jangan pakai produk yang U itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar