Kamis, 16 Agustus 2012

BUBER: Penting?

 
Kali ini santai. Saya akan mencurahkan perasaan saya mengenai buber (buka bersama). Ya, sekarang sudah tanggal (#ngelirik kalender) 28 Ramadhan 1433 H. Membahas buka bersama sedikit telat sepertinya. Tapi, baru saja saya ditawari untuk mengikuti buka bersama untuk kesekian kalinya. Pertama ada buber ekskul pramuka angkatan saya, buber kelas XII+XI (anak sama), buber kelas X, dan yang baru saja ini, buber Pramuka Ambalan Ganesha semua angkatan, banyak banget. Nanti ada buber tetangga, buber orang yatim, piatu, yatim-piatu. Itu masih mending. Malah bisa jadi ada buber orang yang nunggu angkot bareng, buber orang yang merek handphone-nya sama, dan lain-lain. Aneh lah. Pokoknya semua perkumpulan bisa dijadikan sarana buber.
Kembali ke tawaran buber.
Nah, dari semua buber yang saya terima. Saya hanya menghadiri buber ekskul pramuka angkatan saya. Kenapa? Karena saya termakan embel-embel ‘rapat’. Buber-buber yang lain saya tinggalkan, kenapa (lagi)? Karena (lagi) tidak ada kedok ‘rapat’. Bukan. Tapi saya pikir, buber itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kenapa (lagi-lagi)? Karena (lagi-lagi) buber menurut saya, lebih membuat kita boros. Makanan berharga Rp10.000,00 akan menjadi sederhana jika di rumah/warung makan, tapi Rp10.000,00 itu istimewa kalau di rumah.
Kalau buber sekadar untuk silaturahim, ya lebih baik silaturahim saja. Waktunya tidak perlu di waktu maghrib. Kalau mau, silaturahim yang baik untuk kita (pelajar; kalau orang tua saya kurang paham) ada, yaitu belajar kelompok. Kita tidak pernah tidak butuh belajar. Makanya belajar kelompok tidak bisa disalahkan. Kalau buber di waktu maghrib, cenderung mengarah ke ‘senang-senang’ bukan ibadah atau belajar. Iya? Buber di alun-alun misalnya, kita bersenang-senang dengan melihat-lihat ‘pemandangan’ (apapun), bermain, dan bermainnya pun tetap, boros; petasan, apa faedahnya, kita tahu itu boros. Kalau begitu, lebih baik buka puasa di rumah. Ada makanan buatan ibu, yang tidak kalah enak dibanding makanan rumah makan atau warung makan.
Jadi esensinya (inti pendapat saya), buber boleh-boleh saja, asalkan tidak terlalu sering, boros. Selain itu, tidak meninggalkan yang lebih penting. Jangan sampai, karena buber, malah tidak shalat tarawih. Shalat tarawih sih, tapi sendiri, di rumah. Itu rugi, karena kita kehilangan pahala shalat berjamaah. Jangan sampai, karena buber kita dimarahi orang tua. Mengingat ridha Allah, ridha orang tua; murka Allah, murka orang tua. Jika orang tua marah, Allah pun marah. Apalagi untuk yang rumahnya jauh dari tempat bubernya, pulang malam, membuat orang tua cemas. Nah, dosa lagi. Rawan kejahatan kriminal dan kejahatan emosional (takut sendirian di jalan maksudnya).
Pikir-pikir sebelum dilakukan, kalau saya begini, benar atau salah, untung atau rugi. Maka dari itu, ayo kita sama-sama membenahi diri (kebiasaan).
Oya satu lagi, kalau mau buber, hindari hal ini. Benar-benar hindari yang bentuknya buka bersama di rumah teman. Walaupun dibuat semandiri mungkin; membawa makanan sendiri, beli minum sendiri, doa sendiri (eh), tetap saja, pasti membuat pihak rumah REPOT. Pasti ikut bingung, “Masa sih kita ga nyediain apa-apa?” jadi mereka beli lah makanan/minuman untuk para pembuka-puasa-bersama itu.

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder

Rabu, 15 Agustus 2012

Tidak Tahu: Dua Paragraf Singkat


Rabu, 15 Agustus 2012, selisih jauh dari (tanggal post terakhir, lupa). Biasa. Tak perlu dibahas.

Hari ini, kurang lebih 4 tahun kurang 30 hari semenjak bapak pergi dari kami; ibu tercinta, aku, dan adikku yang kusayangi –walaupun sedikit alay—. Bukan pergi selama tiga kali puasa atau lebaran, melainkan pergi dari dunia. Dan mungkin saja hari ini aku akan menyusulnya. Bahkan detik ini ketika aku duduk mengetik di depan laptop. Ketika lagu-lagu Ebiet mengalun pelan di sini. Terlalu dibuat mellow, sepertinya. Bisa saja. Teringat dulu. Melihatnya ketika beliau pergi –tak tega aku jika menggunakan kata meninggal—banyak sekali orang yang datang. Apakah banyak juga yang akan datang ta’ziah jika aku yang meninggal? Tidak tahu. Apakah aku juga akan dikenang? Tidak tahu. Apakah ada orang yang senang dengan kematianku? Apakah aku ditangisi? Apakah aku ditangisi karena kebaikanku? Atau malah hutangku? Apakah akan ada lelaki yang menangis sambil memeluk anakku seperti aku yang dipeluk lelaki saat bapak pergi? Tidak tahu. Tidak tahu. Tidak tahu. Semua tergantung apa yang kuperbuat saat ini, besok, dan seterusnya. Apakah aku menulis ini karena termotivasi kamu. Iya. #eh Apakah apa yang kita lakukan saat ini patut untuk dikenang orang lain, hanya kita yang bisa membuat itu patut atau tidak patut untuk dikenang orang lain.
Pada dasarnya, banyak orang yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi kebanyakan terbawa emosi (dan lingkungan). Mungkin mereka sedang mendapat rezeki yang banyak dari Allah, sehingga mereka lupa mati. Mungkin kita juga kurang merenungi hidup. Kita di dunia ini untuk apa sih? Apa tujuan kita hidup? Kaya? Bersenang-senang? Masuk surga? Lalu apakah yang kita lakukan sudah sesuai tujuan? Atau malah melenceng jauh dari tujuan sehingga lebih mengarah ke larangan? Atau bahkan tidak tahu tujuan hidup kita? Mati saja. Sebaiknya kita lebih rajin merenung, bukan menyesali nasib tapi memikirkan betapa kita tergila-gila kehidupan dunia cuma karena nikmat sekejap. Mari belajar hidup. Hinaan, fitnah, biar. Sudahlah, biarkan reda di rongga dada. Diri sendiri juga belum tentu suci. Balaslah secara gagah, senyum, bukan balas menghina, memfitnah. Daripada mengomentari orang (nggosip), lebih baik mengomentari diri sendiri; apa yang kita tahu baik, paksa untuk dilakukan; yang buruk, paksa untuk tidak dilakukan. Cukup.

Protected by Copyscape Duplicate Content Finder