Barusan adalah yang kedua kalinya, nungkuli (red-kondangan). Begitu sampai, langsung terasa aroma kebiasaan, dangdut, sama seperti lokasi yang pertama. Selain itu juga isinya tetap, bapak-bapak, ya walaupun ada beberapa remaja, termasuk saya. Remaja yang lain itu adalah teman SD saya yang duduk cukup jauh. Ingin menyapa sebenarnya, tapi terpisah selama 6 tahun rasanya terlalu mampu untuk menciptakan rasa canggung.
Di samping beberapa hal yang tidak pernah berubah dari kondangan, ada yang berbeda di tempat tadi. Tadi (rumah B) itu lebih sederhana, bisa dibilang kurang mampu jika dibandingkan dengan lokasi pertama (rumah A). Rumah A itu lebih baik, rumah bagus, tempat luas, ada teratak, makanan lumayan, ada tausiah dari ustaz; kalau rumah B, rumah dari kayu+bambu, lantai masih tanah, tempat agak sempit, tidak cukup dan tidak mampu untuk memasang teratak, tapi makanan alhamdulillah enak, namun tidak sanggup untuk mengundang ustaz.
Sayangnya ada satu kebiasaan buruk yang ada di kedua tempat kondangan itu, yaitu para tamu biasa tidak menghabiskan makanan, bahkan ada yang sama sekali tidak memakan makanannya. Kasihan tuan rumah sebenarnya. Kalau tuan rumah mampu sih tidak masalah, tapi kalau tuan rumahnya seperti di rumah B, miris. Mereka sudah menyiapkan dana –ya entah utang atau bukan tapi para tamu dengan mudahnya meninggalkan begitu saja tanpa dimakan.
Untuk menghargai, saya berusaha menghabiskan walaupun sempat cegukan sebentar. Itu di rumah A. Tadi, di rumah B, saya kecolongan.
Tidak sempat menghabiskan makanan karena saya sudah ditunggu tetangga saya untuk pulang. Terpaksa makanan itu saya tinggalkan di salah satu kursi plastik di pinggir rumah itu.
Mudah-mudahan di waktu lain, kita bisa mengadakan acara yang lebih tertib dan efektif lagi.
Kalau saya punya ide seperti ini. Pertama, ketika tamu datang, mereka disuruh langsung makan. Setelah makan baru pengajian, doa untuk tuan rumah, baru pulang (tidak lupa acara pemberian amplop :D). Oya, musik dangdut yang vokalisnya selalu perempuan itu pun tidak akan saya adakan. Selain tidak ada hubungannya dengan sunatan/pernikahan, tapi juga tidak menciptakan suasana bahagia + boros listrik + polusi suara + lirik tidak mendidik + ∞. Akan lebih bermanfaat kalau yang dimainkan itu materi tentang sunat/pernikahan, syukur-syukur ditayangkan videonya dengan proyektor. Isinya mungkin tentang hukum, manfaat, akibat, dll, intinya yang memyosialisasikan pendidikan bagi tamu. Ya mudah-mudahan lebih baik.
Saya sudah pusing mikir konspirasi di Indonesia ini. Ayo jangan biarkan masalah yang cuma lingkup desa ini berlarut-larut tidak tertib, ya mulai dari diri sendiri saja. Mari sama-sama usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar