Kita telah bosan dengan acara televisi yang segalanya berisi dengan goyangan, candaan tak bermoral, pakaian yang minim, dan bahkan pewajaran khalwat. Pemerintahan di Indonesia pun sulit untuk dapat dianggap bisa diandalkan. Fenomena ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat karena hal ini tentu tidak mungkin terjadi pada bangsa yang masyarakatnya telah terdidik dan beradab.
Sistem pendidikan yang dilaksanakan saat ini lebih mengutamakan kemampuan otak (intelektual) daripada kemampuan spiritual yang hakikatnya harus didahulukan sebagai dasar ilmu pengetahuan. Di Indonesia, murid taman kanak-kanak (TK) telah diajarkan berhitung dan bahkan pelajaran bahasa asing; padahal dalam perkembangannya, anak usia TK sampai sekolah dasar (SD) sekitar kelas IV harusnya diberi pendidikan moral karena membutuhkan waktu yang lama. Kemudian ketika karakter telah terbangun, pemberian materi berhitung, bahasa asing, pemerintahan negara dan sebagainya bisa dilakukan dengan lebih mudah karena murid telah memiliki karakter yang baik dan memahami hakikat kehidupannya.
Kurikulum yang dijalankan di Indonesia bahkan belum berhasil menanamkan pentingnya proses belajar pada murid. Murid secara tidak langsung masih dipaksa untuk menyontek ketika ujian karena takut mendapat nilai rendah. Padahal esensi dari ujian itu sendiri untuk mengukur kemampuan murid.
“Pendidikan merupakan senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.”
Pada masa dinasti Abbasiyah pemerintahan Harun al Rasyid, pendidikan Islam telah berhasil menjadi jawaban atas tantangan perkembangan dan kemajuan budaya Islam. Dalam Islam, pendidikan yang dilakukan harus berdasarkan pada agama. Pada masa dinasti Abbasiyah, murid tingkat dasar diharuskan belajar membaca dan menulis, membaca dan menghafalkan Al Quran, serta belajar bersosial yang baik antara guru dan murid seakan-akan menjadi orang tua dan anak. Pada pendidikan yang lebih tinggi murid diberi kebebasan untuk memilih guru mereka masing-masing dan diizinkan berpindah-pindah guru apabila guru tersebut lebih baik.
Selain itu adanya metode rihlah ilmiah dan wakaf turut serta membantu proses perkembangan pendidikan Islam itu sendiri. Rihlah ilmiah merupakan pengembaraan atau perjalanan jauh di berbagai daerah Islam untuk belajar. Pendidikan tidak sekadar di dalam kelas. Perjalanan ke berbagai wilayah Islam menyebabkan pertukaran pikiran antar masyarakat Islam terus berlangsung sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam pun terus terjadi.
Sistem ekonomi Islam menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syari`ah Islam sehingga aktivitas ekonomi mempunyai tujuan ibadah dan kemaslahatan bersama. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya sistem wakaf sebagai sumber keuangan pengembangan pendidikan.
Secara umum, pendidikan secara Islam harus melingkupi pendidikan keimanan, akhlak, intelektual, dan fisik. Pendidikan keimanan dan akhlak harus didahulukan sebelum pendidikan intelektual. Hal ini ditujukan agar kecerdasan intelektual murid memiliki dasar keimanan pada Allah dan akhlak yang baik, sehingga penggunaan kemampuan intelektual mereka terjaga dalam jalan yang diridai oleh Allah. Sehingga murid bisa lebih bersyukur melalui biologi, dapat lebih meyakini keagungan Allah melalui fisika, dan dapat lebih bertakwa melalui matematika, serta lebih mencintai Allah dengan kimia misalnya.
Ketika iman, akhlak, dan intelektual telah matang, kemampuan fisik dibutuhkan untuk mendukung dalam penerapan ilmu yang dimiliki serta penyampaian (syiar) pada masyarakat. Ketika semua orang mau berdakwah tentang ilmu yang mereka miliki, penyebaran kualitas ketakwaan masyarakat akan merata di titik yang selalu meninggi. Tidak terjadi kesenjangan sosial dalam hal ketakwaan.
Pada intinya, Islam mengajarkan tentang pendidikan, dan dari pendidikan pula lah yang akan memperkuat Islam itu sendiri.